Selasa, 20 Mei 2014

Palinologi Bunga

I.     PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Palinologi adalah ilmu yang mempelajari polen (serbuk sari) tumbuhan tinggi dan spora tumbuhan rendah. Palinologi juga mempelajari mengenai struktur, bentuk maupun preservasinya dibawah kondisi tertentu (Moore & Webb,1978; Morley, 1990). Menurut Cruden (1979), palinologi berasal dari kata palynos yang artinya debu, karena ukuran polen menyerupai debu. Menurut Erdtman (1966), palinologi merupakan studi polen dan spora, studi ini berkisar pada morfologi butir polen dan spora tetapi tidak meliputi bagian dalamnya. Kajian palinologi mencakup tentang sifat atau cirinya, seperti bentuk, struktur dan sifat morfologis lainnya, maupun cara penyebarannya di bawah kondisi lingkungan tertentu.
Polen merupakan gametofit jantan pada tumbuhan Gymnospermae dan Angiospermae, sedangkan spora biasanya dihasilkan tumbuhan non vaskuler seperti alga, jamur, lumut serta tumbuhan vaskuler tingkat rendah yaitu paku-pakuan. Melalui pembelahan meiosis, sel induk mikrospora membelah manjadi empat sel haploid yang disebut mikrospora atau sering disebut sebagai butir polen (serbuk sari) dan spora (Kapp, 1969). Wodehouse (1935) menyatakan bahwa serbuk sari merupakan alat penyebaran dan perbanyakan generatif tumbuhan berbunga. Secara sitologi, serbuk sari merupakan sel dengan tiga nukleus, yang masing-masing dinamakan inti vegetatif, inti generatif I, dan inti generatif II. Sel dalam serbuk sari dilindungi oleh dua lapisan (disebut intine untuk yang di dalam dan exine yang di bagian luar), untuk mencegahnya mengalami dehidrasi. Umumnya butir-butir polen dari setiap tetrad berpisah satu sama lain dan terdapat bebas dalam kantung polen.
Daya tahan polen sangat tinggi karena memiliki eksin yang keras dan secara kimia tidak mudah hancur oleh aktifitas mikroba, tingkat salinitas, kondisi basah, oksigen rendah, dan kekeringan (Moore et al., 1991). Bukti palinologi merupakan salah satu bukti tradisional yang digunakan dalam penyusuna sistematika tumbuhan. Selain ukuran dan bentuk, ciri polen adalah tipe, jumlah dan posisi apertur  serta arsitektur dinding. Ciri morfologi polen tersebut semakin meningkat penggunaannya dalam taksonomi, terutama untuk mengoreksi kembali hubungan kekerabatan antara satu tumbuhan dengan tumbuhan lainnya dalam kelompok-kelompok takson pada tingkat familia, genus bahkan tingkat spesies (Erdtman, 1969). Penelitian mengenai taksonomi tumbuhan dengan menggunakan polen sebagai dasar taksonomi masih sangat sedikit. Selama ini penelitian lebih ditekankan pada morfologi bunga sebagai dasar klasifikasi. Padahal struktur permukaan polen merupakan salah satu karakter yang penting di dalam taksonomi.
Pada praktikum ini akan dilakukan analisis bentuk polen dari beberapa jenis tumbuhan yang berbeda yaitu Hibiscus rosa sinensis (kembang sepatu) berwarna merah dan pink, Musaenda frondosa (nusa indah) berwarna kuning dan Caesalpinia pulcherrima (kembang merak) berwarna merah dan kuning. Ketiga jenis tumbuhan tersebut memiliki bentuk polen yang berebeda-beda dengan ciri atau bentuk permukaan yang unik/khas pada masing-masingnya. Menurut Syamsuhidayat, Sugati dan Hutapea, 1991, kembang sepatu atau Hibiscus rosa-sinensis termasuk famili Malvaceae, tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli Asia tropis yang berasal dari Asia Tenggara (Cina), ditemukan diseluruh daerah tropis hingga ketinggian 1.700 meter di atas pernukaan laut. Caesalpinia pulcherrima atau kembang merak termasuk famili Fabaceae yang merupakan tumbuhan asli daerah tropis dan subtropis. Batang dan cabangnya berduri dan pada malam hari daunnya akan menguncup. Musaenda frondosa (nusa indah) termasuk dalam famili Rubiaceae, merupakan jenis perdu dengan tinggi 2-8 meter, batang menggantung atau tumbuh antara tanaman-tanaman lainnya yang memanjat dan dapat tumbuh dari dataran rendah hingga ketinggian 1.700 m dpl.
1.2    Tujuan Praktikum
Adapaun tujuan praktikum palinologi ini adalah untuk mengetahui langkah-langkah pembuatan preparat polen dengan metoda acetolisys dan  mengetahui bentuk polen pada bunga Hibiscus rosa-sinensis, Caesalpinia pulcherrima dan Musaenda frondosa.

II. Tinjauan Pustaka
-----
III. PELAKSANAAN PRAKTIKUM


3.1. Waktu dan Tempat
            Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 16 dan 17 Januari 2012 di Herbarium Universitas Andalas Padang.
3.2. Alat dan Bahan
            Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikun ini adalah batang pengaduk, testtube, plot plate/pemanas,  pipet tetes,  pinset, objek glass, cover glass, mikroskop, sentrifuse, dan camera digital. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah polen dari beberapa bunga seperti bunga Hibiscus rosa-sinensis (merah dan hibrid), Chaesalpinia pucherrima (merah dan kuning), Musa enda), asam glasial pekat, sodium khlorat, HCL pekat, Aquadest, Acetic anhydride, asam sulfat, asam asetat, dan gliserin.
3.3 Cara Kerja
            Polen di koleksi dari lapangan, dipilih dari berbagai macam bunga. Kemudian polennya diambil dengan menggunakan pinset dan dimasukkan ke dalam testtube. Lalu dilakukan teknik asetolisis dengan oksidasi kuat yaitu diremove semua lemak dari permukaan pollen, sehingga nanti tinggal kerangka pollennya saja.
Untuk klorinasi, sample dipindahkan ke testube lalu diberi asam acetic 1:2 sodium chlorate. Kemudian ditambahkan 3 sampai 4 tetes HCl pekat dan di vortex atau dijentik. Setelah itu direbus dg air mendidih selama 3 menit. Lalu disentrifuse sampai terpisah natan dan air. Kemudian diambil yg supernatannya dan residu atau airnya dibuang, lalu dicuci dg aquadest dan disentrifuse lagi sampai beberapa kali. Terkahir cuci dg asam acetic dan acetic anhydride. Untuk asetylasi, sample dimasukkan kedalam 9:1 (acetic anhydrat dan asam sulfat), kemudian dipanaskan selama 100C selama 4 menit. Setelah tercampur, residu dicuci dg acetic acid dan air. Lalu tambahkan  glycerine( supaya sampel tidak menumpuk dibawah) untuk membuat sample suspensi.
Setelah itu, sample polen yang telah didapatkan diambil dengan menggunakan pipet tetes, lalu diletakkan di atas objek glass dan langsung ditutup dengan menggunakan cover glass. Kemudian diletakkan dibawah mikroskop, dan diamati bagaimana bentuk Polen dari masing-masing bunga tersebut. Setelah ditemukan, polen tersebut digambar dan di foto dengan menggunakan camera digital.

BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1 Morfologi Pollen Hibiscus rosa sinensis
Dari pengamatan morfologi pollen yang telah dilakukan pada Hibiscus rosa sinensis berwarna merah, didapatkan gambaran morfologi pollen sebagai berikut :
morfologi bunga                                                                            
morfologi pollen




                     (tampak atas)
              morfologi pollen
             (tampak samping)
Gambar 1. Hibiscus rosa sinensis (merah)
Sedangkan Hibiscus rosa sinensis yang berwarna pink dan merupakan hybrid, didapatkan bentuk morfologi pollen sebagai berikut:



   


                     


morfologibunga                                                                              


                                                                                                      morfologi pollen
                                                                                                        (tampak atas)
                                                                             




       morfologi pollen
       (tampak samping)
Gambar 2. Hibiscus rosa sinensis (pink)
Dari gambar diatas dapat kita lihat perbedaan bentuk pollen antara Hibiscus rosa sinensis yang berwarna merah dan pink. Secara umum, tidak kelihatan perbedaan yang mendasar, tetapi warna dari pollen H. rosa sinensis yang merah lebih berwarna kecoklatan, sedangkan warna dari H. rosa sinensi yang pink warnanya lebih pudar. Tidak ada parameter lain yang diukur saat pengamatan, sehingga data yang dapat ditampilkan hanya bentuk morfologi pollen.
            Menurut Apriyanty dan Kriswiyanti (2008), H. rosa sinensis merah memiliki panjang polar  106,09 ±2,96 dan panjang equatorial106,81 ±2,92, ukuran kelas oblat sferoidal, dan tipe aperture porat dan ornamentasi ekinat. Sedangkan pada H. rosa sinensis pink memiliki panjang polar 109,28 ±3,42 dan panjang equatorial 108,56 ±2,88, ukuran kelas prolat sferoidal, dan tipe aperture porat dan ornamentasi ekinat.
            Berdasarkan atas hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa dalam satu famili yang sama memiliki perbedaan ukuran yang tidak terlalu jauh. Hal ini dibuktikan dengan ukuran panjang polen Kembang Sepatu dengan sepuluh warna bunga berbeda antara 4 um sampai 15 um dengan diameter antara 89,66 um sampai 117, 42 um. Sesuai hasil penelitian Pudjoarinto (1995) yang mendapatkan perbedaan ukuran panjang polen Hibiscus rosa-sinensis antara 9 um sampai 15 um dengan diameter antara 95,10 um sampai 95,10 um (warna mahkota tidak disebutkan).
Jadi dapat dikatakan bahwa antara satu jenis tumbuhan dengan jenis tumbuhan yang lain baik yang termasuk pada satu marga yang sama terletak pada ukuran butir polen. Jika dibandingkan dengan penelitian Pudjoarinto (1995), adanya perbedaan ukuran dapat disebabkan karena jenis Hibiscus rosa-sinensis yang memiliki warna bunga yang sangat beragam, mungkin saja yang dipakai adalah warna bunga yang berbeda dari sepuluh warna bunga diatas.
Hasil penelitian dari Bibi,  Hussain dan Akhtar (2008), ditemukan bentuk pollen dari H. rosa sinensis hasil SEM (scanning electron microscop) yang mirip dengan hasil praktikum kali ini, menggambarkan ukuran pollen sebagai alat untuk memisahkan spesies dan itu terbukti dari temuan yang mengakibatkan diferensiasi kultivar yang berbeda dari Hibiscus rosa-sinensis secara taksonomi. yaitu :
                                   
     
   __________:28.57μm Mag: x700                 __________ :12.50μm Mag :x1600
                       (Entire Pollen)                                                  (Exine Pattern)
Menurut Bibi,  Hussain dan Akhtar (2008), standar pengukuran dari H. rosa sinensis adalah sebagai berikut : Hibiscus rosa-sinensis Linn. (Var. Cooperi) : Pantoporate, spheroidal, Pollen diameter 108 (124) 161 μm, exine 2.3 (5) 6 μm thick, echini 7 (12) 14 μm high, dasar echini lebar 5 (6) 7 μm , duri apexes adalah 18 (30) 37μm, dasar echini adalah 14 (17) 23μm apart, diameter lubang 4 (5) 7μm. Jumlah duri 21 (29) 35, jumlah lubang 6 (8) 10. Echinate, duri dengan bulbous atau swollen apex, spaced, tidak ada dasar cushion, duri tengah tidak terlalu berbeda dan karena itu monomorphic. Tectums menunjukkan seperti pegunungan and permukaan cukup datar tapi tidak  granulate atau punctuate. Voucher No. NB/022/S-05
4.1 Morfologi Pollen Mussaenda frondosa
Dari pengamatan morfologi pollen yang telah dilakukan pada Mussaenda frondosa bunga berwarna orange, didapatkan gambaran morfologi pollen sebagai berikut :
Morfologi bunga
                               
Morfologi pollen                                                       Morfologi pollen
Gambar 3. Mussaenda frondosa (bunga orange)
Dari gambar diatas, dapat kita lihat bagaimana bentuk morfologi pollen dari M. frondosa pada praktikum kali ini, hanya dilakukan pengamatan bentuk morfologi saja, tidak dilakukan pengamatan dan pengukuran pada pollen ini. Jika dilihat dari beberapa literature, bentuk pollen ini mirip dengan family nya Rubiaceae dari spesies Aitchisonia rosea. Menurut Perveen dan Qaiser (2007), karakter umum family rubiaceae memiliki serbuk sari : radial simetris, isopolar. Kebanyakan sub-yg tersebar luas, untuk prolates pheroidal jarang pepat-bulat atau sub-pepat untuk yg tersebar luas. Colpate untuk pantocolpate atau colporate, sexine lebih tebal atau lebih tipis dari nexine. Tectal scabrate- atau retikulat untuk rugulate-retikular, permukaan sebagian besar spinulose atau scabrate.
Menurut Perveen dan Qaiser (2007), gambaran morfologi dari family Rubiaceae dari spesies Aitchisonia rosea adalah sebagai berikut :
            
     Polar view                                                  Polar view
Equatorial view
Dalam penelitian palinologi Perveen dan Qaiser (2007), tipe aperture Rubiaceae lebih sering adalah colpate, meskipun jenis colporate juga telah ditemukan. Dalam jumlah butir aperture colpate bervariasi 3-11 colpate, di antaranya 6-7 colpate lebih sering ditemukan. Antara colporate butir 3-colporate butir sebagian besar hadir namun Borreria adalah kasus yang luar biasa di mana colporae bervariasi dari 11-13.
4.1 Morfologi Pollen Caesalpinia pulcherrima
Dari pengamatan morfologi pollen yang telah dilakukan pada Caesalpinia pulcherrima berwarna orange, didapatkan gambaran morfologi pollen sebagai berikut :
              
               morfologi bunga                                             morfologi polen
                                                                                        (tampak atas)
                               
                                                              (equatorial view)                                

                                                                (tampak samping)
                                         
                                           (perbesaran 40x pada mikroskop)
Gambar 4. Caesalpinia pulcherrima (orange)
Sedangkan Caealpinia pulcherrima yang berwarna kuning, didapatkan bentuk morfologi pollen sebagai berikut :
                                  
          
                                                        morfologi pollen
Dari gambar diatas dapat kita lihat bahwa bentuk pollen pada Caesalpinia pulcherrima dengan warna bunga yang berbeda yaitu orange dan kuning tidak memiliki perbedaan morfologi pollennya. Pada pengambilan gambar C. pulcherrima bunga berwarna orange didapatkan dengan berbagai posisi pollen sehingga kelihatan bentuk morfologi pollen dari berbagai sudut. Sedangkan pada C. pulcherrima bunga berwarna kuning hanya didapatkan satu bentuk posisi morfologi pollen. Pengamatan parameter lain tidak dilakukan, hanya pengambilan gambar morfologi pollen C. pulcherrima yang dilakukan pada praktikum kali ini.
            Penelitian yang dilakukan oleh Perveen dan  Qaiser (1998), pada Subfamily Caesalpenidae, ditemukan juga pollen pada Caesalpinia pulcherrima dengan metoda SEM (Scanning electron microscop) yang juga mirip morfologi pollen C. pulcherrima yang dicobakan pada praktikuk kali ini, adapun bentuk morfologi pollen hasil penelitian Perveen dan Qaiser ini adalah :
    
Polar view                                           Equatorial view
                   Eine pattern
(Morfologi pollen C. pulcherima dg SEM)
Menurut Perveen dan  Qaiser (1998), deskripsi dari morfologi pollen C. pulcherrima ini masuk pollen tipe II, yaitu kelas Pollen: Tricolporate, zonoaperturate. Rasio P / E: suberect. Bentuk: bulat yg tersebar luas. Apertures: Ectoaperture - colpi menengah, alinea syncolpate. Endoaperture la-longate, ± bentuk melingkar. Exine: Sexine lebih tebal dari nexine. Ornamen: Tectum kasar retikular dengan margin colpal yang berbeda, apocolpium retikulat. Graham dan  Baker  1981, menggambarkan palynology dari subfamili Caesalpinioideae memiliki hubungan didalam klasifikasi family mereka.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1.      Tipe pollen dari Hibiscus rosa sinensis adalah pantoporate.
2.      Tipe pollen dari Mussaenda frondosa adalah colporate.
3.      Tipe pollen dari Caesalpinia pulcherrima adalah tricolporate.
5.2 Saran
Dari praktikum yang telah dicobakan, telah didapatkan beberapa bentuk morfologi pollen, diharapkan untuk praktikum selanjutnya bias dilakukan pada banyak family tumbuhan lagi, dan tidak hanya melihat morfologi pollen nya saja, tetapi juga melakukan pengukuran parameter lainnya agar data yang didapatkan lebih detail dan konkrit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar