1.1 Latar
Belakang
Palinologi adalah ilmu yang mempelajari polen
(serbuk sari) tumbuhan tinggi dan spora tumbuhan rendah. Palinologi juga
mempelajari mengenai struktur, bentuk maupun preservasinya dibawah kondisi
tertentu (Moore & Webb,1978; Morley, 1990). Menurut Cruden (1979),
palinologi berasal dari kata palynos yang artinya debu, karena
ukuran polen menyerupai debu. Menurut Erdtman (1966), palinologi merupakan
studi polen dan spora, studi ini berkisar pada morfologi butir polen dan spora
tetapi tidak meliputi bagian dalamnya. Kajian palinologi mencakup tentang
sifat atau cirinya, seperti bentuk, struktur dan sifat morfologis lainnya,
maupun cara penyebarannya di bawah kondisi lingkungan tertentu.
Polen merupakan gametofit
jantan pada tumbuhan Gymnospermae dan Angiospermae, sedangkan spora biasanya dihasilkan tumbuhan non vaskuler
seperti alga, jamur, lumut serta tumbuhan
vaskuler tingkat rendah yaitu paku-pakuan. Melalui pembelahan meiosis, sel
induk mikrospora membelah manjadi empat sel haploid yang disebut mikrospora
atau sering disebut sebagai butir polen (serbuk sari) dan spora (Kapp, 1969). Wodehouse
(1935) menyatakan bahwa serbuk sari merupakan alat
penyebaran dan perbanyakan generatif
tumbuhan berbunga. Secara sitologi, serbuk sari merupakan
sel dengan tiga nukleus, yang masing-masing
dinamakan inti vegetatif, inti
generatif I, dan inti generatif II. Sel dalam serbuk sari dilindungi oleh dua lapisan (disebut intine untuk yang di dalam dan exine yang di
bagian luar), untuk mencegahnya mengalami dehidrasi. Umumnya butir-butir
polen dari setiap tetrad berpisah satu sama lain dan terdapat bebas dalam
kantung polen.
Daya tahan polen sangat
tinggi karena memiliki eksin
yang keras dan secara kimia tidak mudah hancur oleh aktifitas mikroba, tingkat
salinitas, kondisi basah, oksigen rendah, dan kekeringan (Moore et al., 1991). Bukti palinologi
merupakan salah satu bukti tradisional yang digunakan dalam penyusuna
sistematika tumbuhan. Selain ukuran dan bentuk, ciri polen adalah tipe, jumlah
dan posisi apertur serta arsitektur dinding. Ciri morfologi polen
tersebut semakin meningkat penggunaannya dalam taksonomi, terutama untuk
mengoreksi kembali hubungan kekerabatan antara satu tumbuhan dengan tumbuhan
lainnya dalam kelompok-kelompok takson pada tingkat familia, genus bahkan tingkat
spesies (Erdtman, 1969). Penelitian mengenai taksonomi tumbuhan dengan
menggunakan polen sebagai dasar taksonomi masih sangat sedikit. Selama ini
penelitian lebih ditekankan pada morfologi bunga sebagai dasar klasifikasi. Padahal struktur permukaan polen merupakan
salah satu karakter yang penting di dalam taksonomi.
Pada praktikum
ini akan dilakukan analisis bentuk polen dari
beberapa jenis tumbuhan yang berbeda yaitu Hibiscus rosa sinensis
(kembang sepatu) berwarna merah dan pink, Musaenda frondosa (nusa
indah) berwarna kuning dan Caesalpinia pulcherrima (kembang merak) berwarna merah dan kuning. Ketiga jenis tumbuhan tersebut
memiliki bentuk polen yang berebeda-beda dengan ciri atau bentuk permukaan yang
unik/khas pada masing-masingnya. Menurut Syamsuhidayat, Sugati dan
Hutapea, 1991, kembang sepatu atau Hibiscus rosa-sinensis termasuk famili Malvaceae, tumbuhan ini merupakan
tumbuhan asli Asia tropis yang berasal
dari Asia Tenggara (Cina), ditemukan diseluruh daerah tropis hingga ketinggian 1.700
meter di atas pernukaan laut. Caesalpinia pulcherrima atau kembang merak termasuk famili Fabaceae yang merupakan tumbuhan asli daerah
tropis dan subtropis. Batang dan cabangnya berduri dan pada malam hari daunnya akan menguncup. Musaenda frondosa (nusa indah) termasuk dalam famili Rubiaceae, merupakan jenis perdu dengan tinggi 2-8
meter, batang menggantung atau tumbuh antara tanaman-tanaman lainnya yang
memanjat dan dapat tumbuh dari dataran rendah hingga ketinggian 1.700 m dpl.
1.2
Tujuan
Praktikum
Adapaun tujuan praktikum palinologi ini adalah
untuk mengetahui langkah-langkah pembuatan preparat polen dengan metoda
acetolisys dan mengetahui bentuk
polen pada bunga Hibiscus rosa-sinensis, Caesalpinia pulcherrima dan Musaenda
frondosa.
II. Tinjauan Pustaka
-----
III. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada
tanggal 16 dan 17 Januari 2012 di Herbarium Universitas Andalas Padang.
3.2. Alat dan Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan
dalam praktikun ini adalah batang pengaduk, testtube, plot plate/pemanas, pipet tetes,
pinset, objek glass, cover glass, mikroskop, sentrifuse, dan camera
digital. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah polen dari beberapa bunga
seperti bunga Hibiscus rosa-sinensis
(merah dan hibrid), Chaesalpinia pucherrima (merah dan kuning), Musa enda),
asam glasial pekat, sodium khlorat, HCL pekat, Aquadest, Acetic anhydride, asam
sulfat, asam asetat, dan gliserin.
3.3 Cara Kerja
Polen di koleksi dari lapangan,
dipilih dari berbagai macam bunga. Kemudian polennya diambil dengan menggunakan
pinset dan dimasukkan ke dalam testtube. Lalu dilakukan teknik asetolisis
dengan oksidasi kuat yaitu diremove semua lemak dari permukaan pollen, sehingga
nanti tinggal kerangka pollennya saja.
Untuk
klorinasi, sample dipindahkan ke testube lalu diberi asam acetic 1:2 sodium
chlorate. Kemudian ditambahkan 3 sampai 4 tetes HCl pekat dan di vortex atau
dijentik. Setelah itu direbus dg air mendidih selama 3 menit. Lalu disentrifuse
sampai terpisah natan dan air. Kemudian diambil yg supernatannya dan residu
atau airnya dibuang, lalu dicuci dg aquadest dan disentrifuse lagi sampai
beberapa kali. Terkahir cuci dg asam acetic dan acetic anhydride. Untuk
asetylasi, sample dimasukkan kedalam 9:1 (acetic anhydrat dan asam sulfat),
kemudian dipanaskan selama 100C selama 4 menit. Setelah tercampur, residu
dicuci dg acetic acid dan air. Lalu tambahkan
glycerine( supaya sampel tidak menumpuk dibawah) untuk membuat sample
suspensi.
Setelah
itu, sample polen yang telah didapatkan diambil dengan menggunakan pipet tetes,
lalu diletakkan di atas objek glass dan langsung ditutup dengan menggunakan
cover glass. Kemudian diletakkan dibawah mikroskop, dan diamati bagaimana
bentuk Polen dari masing-masing bunga tersebut. Setelah ditemukan, polen
tersebut digambar dan di foto dengan menggunakan camera digital.
BAB.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Morfologi Pollen Hibiscus rosa sinensis
Dari pengamatan morfologi pollen yang
telah dilakukan pada Hibiscus rosa
sinensis berwarna merah, didapatkan gambaran morfologi pollen sebagai
berikut :
morfologi bunga
morfologi pollen
(tampak atas)
morfologi pollen
(tampak samping)
Gambar 1. Hibiscus rosa sinensis (merah)
Sedangkan Hibiscus rosa sinensis yang berwarna pink dan merupakan hybrid,
didapatkan bentuk morfologi pollen sebagai berikut:
morfologibunga
morfologi pollen
(tampak atas)
morfologi pollen
(tampak samping)
Gambar 2. Hibiscus rosa sinensis (pink)
Dari gambar diatas dapat kita lihat
perbedaan bentuk pollen antara Hibiscus
rosa sinensis yang berwarna merah dan pink. Secara umum, tidak kelihatan
perbedaan yang mendasar, tetapi warna dari pollen H. rosa sinensis yang merah lebih berwarna kecoklatan, sedangkan
warna dari H. rosa sinensi yang pink
warnanya lebih pudar. Tidak ada parameter lain yang diukur saat pengamatan,
sehingga data yang dapat ditampilkan hanya bentuk morfologi pollen.
Menurut
Apriyanty dan Kriswiyanti (2008), H. rosa
sinensis merah memiliki panjang polar 106,09 ±2,96 dan panjang equatorial106,81
±2,92, ukuran kelas oblat sferoidal, dan tipe aperture porat dan ornamentasi
ekinat. Sedangkan pada H. rosa sinensis
pink memiliki panjang polar 109,28 ±3,42 dan panjang equatorial 108,56 ±2,88,
ukuran kelas prolat sferoidal, dan tipe aperture porat dan ornamentasi ekinat.
Berdasarkan
atas hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa dalam satu famili yang sama
memiliki perbedaan ukuran yang tidak terlalu jauh. Hal ini dibuktikan dengan
ukuran panjang polen Kembang Sepatu dengan sepuluh warna bunga berbeda antara 4
um sampai 15 um dengan diameter antara 89,66 um sampai 117, 42 um. Sesuai hasil
penelitian Pudjoarinto (1995) yang mendapatkan perbedaan ukuran panjang polen Hibiscus
rosa-sinensis antara 9 um sampai 15 um dengan diameter antara 95,10 um sampai
95,10 um (warna mahkota tidak disebutkan).
Jadi dapat dikatakan
bahwa antara satu jenis tumbuhan dengan jenis tumbuhan yang lain baik yang
termasuk pada satu marga yang sama terletak pada ukuran butir polen. Jika
dibandingkan dengan penelitian Pudjoarinto (1995), adanya perbedaan ukuran
dapat disebabkan karena jenis Hibiscus rosa-sinensis yang memiliki warna bunga
yang sangat beragam, mungkin saja yang dipakai adalah warna bunga yang berbeda
dari sepuluh warna bunga diatas.
Hasil penelitian dari
Bibi, Hussain dan Akhtar (2008),
ditemukan bentuk pollen dari H. rosa
sinensis hasil SEM (scanning electron
microscop) yang mirip dengan hasil praktikum kali ini, menggambarkan
ukuran pollen sebagai alat untuk memisahkan spesies dan itu terbukti dari temuan
yang mengakibatkan diferensiasi kultivar yang berbeda dari Hibiscus rosa-sinensis secara taksonomi. yaitu :
__________:28.57μm Mag: x700 __________ :12.50μm Mag :x1600
(Entire Pollen) (Exine
Pattern)
Menurut Bibi, Hussain dan Akhtar (2008), standar pengukuran
dari H. rosa sinensis adalah sebagai
berikut : Hibiscus rosa-sinensis Linn.
(Var. Cooperi) : Pantoporate, spheroidal, Pollen diameter 108 (124) 161 μm,
exine 2.3 (5) 6 μm thick, echini 7 (12) 14 μm high, dasar echini lebar 5 (6) 7
μm , duri apexes adalah 18 (30) 37μm, dasar echini adalah 14 (17) 23μm apart,
diameter lubang 4 (5) 7μm. Jumlah duri 21 (29) 35, jumlah lubang 6 (8) 10.
Echinate, duri dengan bulbous atau swollen apex, spaced, tidak ada dasar
cushion, duri tengah tidak terlalu berbeda dan karena itu monomorphic. Tectums menunjukkan
seperti pegunungan and permukaan cukup datar tapi tidak granulate atau punctuate. Voucher No.
NB/022/S-05
4.1
Morfologi Pollen Mussaenda frondosa
Dari pengamatan morfologi pollen yang
telah dilakukan pada Mussaenda frondosa
bunga berwarna orange, didapatkan gambaran morfologi pollen sebagai berikut :
Morfologi bunga
Morfologi pollen
Morfologi pollen
Gambar 3. Mussaenda frondosa (bunga orange)
Dari gambar diatas, dapat kita lihat
bagaimana bentuk morfologi pollen dari M.
frondosa pada praktikum kali ini, hanya dilakukan pengamatan bentuk
morfologi saja, tidak dilakukan pengamatan dan pengukuran pada pollen ini. Jika
dilihat dari beberapa literature, bentuk pollen ini mirip dengan family nya
Rubiaceae dari spesies Aitchisonia rosea.
Menurut Perveen dan Qaiser (2007), karakter umum family
rubiaceae memiliki serbuk sari : radial simetris, isopolar. Kebanyakan sub-yg
tersebar luas, untuk prolates pheroidal jarang pepat-bulat atau sub-pepat untuk
yg tersebar luas. Colpate untuk pantocolpate atau colporate, sexine lebih tebal
atau lebih tipis dari nexine. Tectal scabrate- atau retikulat untuk rugulate-retikular,
permukaan sebagian besar spinulose atau scabrate.
Menurut Perveen dan Qaiser (2007),
gambaran morfologi dari family Rubiaceae dari spesies Aitchisonia rosea adalah sebagai berikut :
Polar view Polar view
Equatorial view
Dalam penelitian palinologi Perveen dan
Qaiser (2007), tipe aperture Rubiaceae lebih sering adalah colpate,
meskipun jenis colporate juga telah ditemukan. Dalam jumlah butir aperture
colpate bervariasi 3-11 colpate, di antaranya 6-7 colpate lebih sering
ditemukan. Antara colporate butir 3-colporate butir sebagian besar hadir namun Borreria adalah kasus yang luar biasa di
mana colporae bervariasi dari 11-13.
4.1
Morfologi Pollen Caesalpinia pulcherrima
Dari pengamatan morfologi pollen yang
telah dilakukan pada Caesalpinia
pulcherrima berwarna orange, didapatkan gambaran morfologi pollen sebagai
berikut :
morfologi bunga
morfologi polen
(tampak atas)
(perbesaran 40x pada mikroskop)
Gambar 4. Caesalpinia pulcherrima (orange)
Sedangkan Caealpinia pulcherrima yang berwarna kuning, didapatkan bentuk
morfologi pollen sebagai berikut :
Dari gambar diatas dapat kita lihat
bahwa bentuk pollen pada Caesalpinia
pulcherrima dengan warna bunga yang berbeda yaitu orange dan kuning tidak
memiliki perbedaan morfologi pollennya. Pada pengambilan gambar C. pulcherrima bunga berwarna orange
didapatkan dengan berbagai posisi pollen sehingga kelihatan bentuk morfologi
pollen dari berbagai sudut. Sedangkan pada C.
pulcherrima bunga berwarna kuning hanya didapatkan satu bentuk posisi
morfologi pollen. Pengamatan parameter lain tidak dilakukan, hanya pengambilan
gambar morfologi pollen C. pulcherrima
yang dilakukan pada praktikum kali ini.
Penelitian
yang dilakukan oleh Perveen dan Qaiser
(1998), pada Subfamily Caesalpenidae, ditemukan juga pollen pada Caesalpinia pulcherrima dengan metoda
SEM (Scanning electron microscop) yang juga mirip morfologi pollen C.
pulcherrima yang dicobakan pada praktikuk kali ini, adapun bentuk morfologi
pollen hasil penelitian Perveen dan Qaiser ini adalah :
Polar view Equatorial
view
Eine pattern
(Morfologi pollen C. pulcherima dg SEM)
Menurut Perveen dan Qaiser (1998), deskripsi dari morfologi
pollen C. pulcherrima ini masuk
pollen tipe II, yaitu kelas Pollen: Tricolporate, zonoaperturate. Rasio P / E:
suberect. Bentuk: bulat yg tersebar luas. Apertures: Ectoaperture - colpi
menengah, alinea syncolpate. Endoaperture la-longate, ± bentuk melingkar. Exine:
Sexine lebih tebal dari nexine. Ornamen: Tectum kasar retikular dengan margin colpal
yang berbeda, apocolpium retikulat. Graham dan Baker 1981, menggambarkan palynology dari subfamili
Caesalpinioideae memiliki hubungan didalam klasifikasi family mereka.
BAB
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan,
maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Tipe
pollen dari Hibiscus rosa sinensis
adalah pantoporate.
2. Tipe
pollen dari Mussaenda frondosa adalah
colporate.
3. Tipe
pollen dari Caesalpinia pulcherrima
adalah tricolporate.
5.2 Saran
Dari praktikum yang telah dicobakan,
telah didapatkan beberapa bentuk morfologi pollen, diharapkan untuk praktikum
selanjutnya bias dilakukan pada banyak family tumbuhan lagi, dan tidak hanya
melihat morfologi pollen nya saja, tetapi juga melakukan pengukuran parameter
lainnya agar data yang didapatkan lebih detail dan konkrit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar